Sebagai pusat perintah bagi tubuh yang memiliki selaksa jaringan, kerja otak menjadi sedemikian kompleks. Tetapi keberadaannya justru memiliki kapasitas untuk bekerja dengan berat. Berpikir, membaca, menghitung, mengolah data, mengingat, menjaga keseimbangan tubuh, memerintahkan berbagai hormon, Refleks, emosional, dan fungsi-fungsi lain yang tidak dapat dilakukan oleh organ lain.
Karena sedemikian besar kemampuan kerja yang dapat dilakukan, maka otak akan berfungsi normal apabila diberikan pekerjaan yang sepadan dengan kapasitasnya. Ia akan menjadi organ yang sehat jika dipakai untuk berpikir, menghitung, dan fungsi-fungsi seperti di atas. Ada orang yang merasa terbebani dan stress akan sebuah masalah dan berhenti untuk berpikir. Sebenarnya orang itu sedang menonaktifkan fungsi otak sebagai pemikir. Jika otak tidak diberikan porsinya untuk bekerja, maka otak akan menjadi organ yang menganggur (idle capacity). Ia tidak ubahnya seperti motor yang memiliki mesin bertenaga besar tetapi tidak dipakai untuk berpacu, bahkan dihidupkan saja tidak.
Mesin sebuah motor -walaupun besar tenaga yang dapat dihasilkannya- tetapi tidak dihidupkan dalam jangka waktu yang lama, maka dalam mesin itu akan mulai timbul karat yang merusak sistim mekanisnya. Karet-karet seal akan mengeras, packing akan bocor, karburator akan penuh dengan sarang rayap dan semut, sehingga motor tersebut memerlukan pekerjaan yang ekstra alias turun mesin jika ingin diharapkan sebagai mesin andalan penghasil tenaga besar. Begitupula yang terjadi pada otak manusia. Ia akan menjadi organ yang tidak berfungsi dengan baik jika diberikan proporsi kerja yang tidak sepadan dengan kapasitasnya. Otak perlahan-lahan akan mengalami kerusakan yang berarti. Kerusakan otak ini akan berefek kepada kordinasi tubuh yang lemah ketika memberi perintah. Tubuh akan mudah terkena penyakit, antibody nya tidak lagi menjadi pelindung tubuh dari gangguan luar, dan tubuh tidak bisa me-recovery masalah-masalah yang terjadi sehingga akan membahayakan kelangsungan hidup organisme biologis yang bernama manusia. Atau dengan kata lain jika otak tidak difungsikan dengan benar, maka manusia itu akan mudah mengalami kematian.
Aktifasi otak itulah yang menjadi jawaban mengapa para pemikir memiliki umur relatif lebih panjang dari manusia kebanyakan. Nabi Musa wafat pada umur 120 th, Albert Einstein 76 th, Isaac Newton 84 th, Charles Darwin 73 th, Thomas Alfa Edison 84 th, Archimedes 75 th, dan ilmuan-ilmuan lain yang memiliki rentang umur relatif lebih panjang. Begitupula dengan warga Jepang yang memiliki umur hingga lanjut. Selain kondisi alam, pola makan dan gaya hidup yang natural, ternyata orang jepang paling suka membaca. Mereka menjadikan membaca sebagai makanan kedua setelah nasi. Karena suka membaca maka otak tiada henti untuk memproses dan menganalisa apa yang dibacanya. Dengan membaca mereka memiliki banyak input yang berguna untuk diaplikasikan dalam kehidupan, memiliki referensi yang cukup sebagai pelajaran dalam hidup. Jadi otak orang yang gemar membaca selalu bekerja dengan aktif. Warga pedesaan kebanyakan memiliki usia yang lebih panjang dibanding warga yang tinggal di kota. Walaupun kebanyakan taraf kehidupanmaterialistiknya jauh dibanding warga kota, tetapi mereka memiliki keuletan dan pola pikir yang tidak melabrak norma-norma naturalistik. Mereka tidak frustasi dalam menghadapi segala persoalan, tetap berpikir untuk melewatinya dengan hati yang terbuka, tulus bekerja, mensyukuri apa yang diperoleh, walaupun hanya menghasilkan sepiring nasi berlauk ikan asin saja.
Penelitian yang dilakukan oleh seorang Profesor Jepang -yang bernama Ryuta Kawashima- membuktikan bahwa otak orang yang biasa disibukkan dengan aktifitas mengendarai motor (yang memerlukan konsentrasi dan kehati-hatian), memiliki hasil penilaian yang lebih baik pada saat tes kognitif dibanding orang yang tidak biasa mengendarai sepeda motor. Hal ini semakin menguatkan paradigma bahwa otak manusia memiliki kapasitas yang harus digunakan sesuai dengan keberadaannya.
Jika kita tarik pelajaran otak manusia ini kepada konteks yang lebih besar, sebuah bangsa adalah tubuh bagi negara yang memiliki otak yang bernama Pemerintah. Rakyat akan beraktifitas mematuhi perintah dan rambu-rambu yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Ia akan menjadi sebuah tatanan yang dinamis dan teratur jika dikendalikan oleh aturan yang memacu ketersediaan lapangan kerja sebagai ladang bagi rakyat untuk menumpahkan keahlian dan dharma-baktinya dalam sebuah negara. Tanpa pemerintahan yang baik, maka masyarakat akan menjadi bangsa yang mudah dikalahkan, cengeng, mudah terpikat oleh fenomena-fenomena klenik yang menjanjikan berbagai kemudahan.
Fenomena sosial yang memperbodoh tidak bisa disalahkan sepenuhnya kepada masyarakat saja, tetapi masyarakat hanya berupa elemen kausalitas yang disebabkan tidak becusnya sebuah pemerintahan dalam mengatur dan melindungi warga dengan instrumen-instrumen yang dimiliki. Mudahnya emosi terpancing oleh perbedaan, ringannya tangan dalam menanggapi berbagai persoalan, mengharapkan penyembuhan penyakit dari benda-benda yang belum terbukti kemanjurannya secara klinis, mudahnya mengambil jalan pintas bagi ketenaran, itu semua adalah gejala dari masyarakat yang terlalaikan oleh otaknya sebuah bangsa.
Ketika rakyat menghadapi kesulitan yang berlarut-larut dengan tidak adanya sebuah guidance yang tegas dan tanpa pandang bulu, itu menandakan pusat perintah dalam tubuh yang bernama pemerintah sedang melalaikan fungsinya sebagai pengayom dan satu-satunya pemegang otoritas untuk mengatur warganya. Maka tubuh bangsa akan menerima dampak dari keterlalaian itu. Rakyat akan menangis, kejahatan tumbuh subur di segala bidang, korupsi menjadi sebuah keharusan, para tokoh dan kaum intelektual memperalat rakyat untuk mencapai ambisi politik, bahkan spiritual dijadikan pembenaran bagi pencapaian hasrat duniawi.
Selaku pemegang komando, sebuah pemerintahan harus berpikir untuk memotivasi warganya agar tetap gigih dalam menghadapi berbagai kesulitan dan keluasan. Disamping itu juga memberikan sarana dan prasarana sebagai tools bagi tujuan yang dimaksud, memberikan kail bukan ikan. Layaknya batang tebu, ia baru keluar sarinya jika diperas, baru mengeluarkan manisnya ketika mendapat himpitan yang keras. Pelajaran itu harus diambil bagi sebuah negara yang sedang mengalami kemunduran ingin bangkit dari keterpurukan. Bukan saling menyalahkan dan mengedepankan kesombongan golongan dalam mencapai kepemimpinan, tetapi harus ada semangat yang integral bahwa kondisi bangsa akan mengalami percepatan perbaikan jika membuka diri terhadap input-input baru dari berbagai kalangan untuk melewati keterpurukan. Tidak dibatasi oleh arogansi materialistik, etnis, maupun kemapanan spiritual yang akan membuat bangsa seperti kura-kura dalam tempurung. Merasa besar padahal ketika gajah melewatinya ia akan terinjak rata dengan tanah.
Jika manusia tidak menggunakan otak untuk berpikir secara konsisten yang sesuai dengan fungsi diri sebagai makhluk sosial dan bermanfaat bagi orang lain, maka umurnya tinggal menghitung hari. Otaknya tidak lagi menjadi obat bagi penyakit-penyakit yang diderita, tubuhnya akan menderita penyakit yang menahun, bahkan menuju kematian.
Begitupula dalam sebuah bangsa; jika tidak dipimpin oleh sebuah pemerintahan yang memikirkan kelangsungan kehidupan rakyat dengan memberikan solusi yang sepadan bagi berbagai permasalahan rakyat yang menjadi pendukungnya, dan jika para tokoh negaranya hanya memikirkan kepentingan pribadi dan golongannya sendiri, maka bangsa hanya akan menjadi pelengkap penderita bagi hiruk pikuknya eksistensi sebuah negara. Bangsa akan menjadi alat bagi perebutan tampuk kekuasaan yang menghalalkan segala cara, sementara penyakit moral yang muncul bukan semakin mereda, tetapi semakin parah dan menabrak norma-norma kesadaran, spiritual, dan sosial. Maka bangsa itu akan sekarat, bangsa itu akan mati muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar